Daulah Bani Abbasiyah: Harun Ar-Rasyid

Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M. Ayahnya bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama Khaizuran.

Masa kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaki.

Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada usianya yang sangat muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.

Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.

Pada masa itu, Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.

Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya Al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.

Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Suasanan negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.

Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa itu.

Khalifah Harun Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.

Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.

Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.
Lanjutan Cerita Tentang Daulah Bani Abbasiyah: Harun Ar-Rasyid

Keyakinan dan Prasangka Baik

Seorang murid mendambakan syeikh yang akan menyampaikannya kepada Allah. Meski sudah berusaha keras, ia tak berhasil menemukan syeikh yang diidamkan.
Suatu hari ada yang berkata kepadanya bahwa ia tidak akan menemukan seorang syeikh yang dapat menyampaikannya kepada Allah kecuali Fulan bin Fulan yang tinggal disuatu kota. Ia pun segera berangkat ke kota itu. Setelah sampai di sana, ia menanyakan tentang orang yang dimaksud. Penghuni kota menunjukkan kepadanya seorang lelaki yang berperangai buruk dan suka bermaksiat. Ia mendatangi rumah orang itu dan mengetuk pintunya.

"Siapa?" tanya pemilik rumah.
"Fulan," jawabnya.

Pemilik rumah sedang menunggu orang yang kebetulan namanya sama dengan nama si murid. Ia telah berjanji kepadanya untuk bersenang-senang dengan wanita dan minuman memabukkan. Ia lalu membukakan pintu karena mengira bahwa tamu itu adalah temannya.
Si murid masuk ke dalam rumah. Ketika menatap wajah pemilik rumah, ia lalu duduk bersimpuh dan menangis. Pertemuan dengan sang calon syeikh ini begitu mengharukannya sehingga ia tidak melihat wanita-wanita dan minuman keras yang ada di situ.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanya pemilik rumah keheranan.
"Aku ingin agar kamu menyampaikan aku kepada Allah. Aku telah berusaha mencari guru, tetapi tidak menemukan selain kamu," kata si murid dengan suara sendu.
Karena ingin segera terbebas dari orang yang tampak aneh ini, lelaki itu berkata sekenanya, "Pergilah ke tempat A, di bawah gunung B. Di sana akan kamu temukan air. Berwudhulah dengan air itu kemudian beribadahlah di situ sampai Allah memberimu fath."

Si murid segera keluar melaksanakan perintah syeikhnya. Ia beribadah dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya Allah memberinya fath. Setelah menerima fath dari Allah, ia akhirnya tahu bahwa orang yang selama ini dianggap sebagai syeikhnya ternyata adalah manusia yang berperangai buruk dan suka bermaksiat kepada Allah.

Si murid kemudian mulai dikenal orang. Kesalehannya menjadi buah bibir masyarakat. Manusia mulai berdatangan, ada yang ingin menuntut ilmu, ada juga yang sekedar ingin memperoleh keberkahan. Bertambah hari muridnya bertambah banyak. Suatu hari ia jatuh sakit. Ketika penyakitnya menjadi semakin parah, para muridnya bertanya, "Guru, siapa yang akan kamu angkat untuk mengantikan kedudukanmu jika kamu wafat."
"Fulan bin Fulan yang suka bermaksiat. Karena itu, bertawajuhlah kalian kepada Allah, berdoalah, agar sebelum aku meninggal dunia, Allah telah merubah keadaannya menjadi yang terbaik, dan memberinya petunjuk, karena sesungguhnya aku tidak akan mencapai kedudukan ini kalau bukan karena dia.

Allah mengabulkan doa mereka. Lelaki itu bertobat dan menjadi murid dari mantan muridnya.
Ia berusaha sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah di bawah bimbingan gurunya. Sepeninggal sang guru, ia dipercaya untuk menggantikan kedudukannya.
Barangsiapa bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Karena lelaki tadi mendekatkan diri kepada Allah dengan sidq (kesungguhan), ia mencapai kedudukan yang tinggi. Barang siapa menghadap Allah dengan sidq, ia akan mencapai apa yang telah dicapai oleh orang-orang yang sempurna. (I:136)
Lanjutan Cerita Tentang Keyakinan dan Prasangka Baik

Sikap Wara' Membawa Berkah

Jangan sekali-kali berpikir bahwa orang yang sempurna adalah orang yang mengenakan imamah terbaik dan pakaian mewah. Akan tetapi orang yang sempurna adalah yang menjauhi maksiat, menekuni wirid-wirid, beramal saleh, dan menuntut ilmu dengan penuh adab, karena ilmu akan menuntun pemiliknya mencapai kemuliaan.

Abdullah bin Mubarak suatu hari berkata, "Aku akan mengerjakan perbuatan yang akan membuatku mulia." Ia lalu menuntut ilmu hingga menjadi seorang yang alim. Waktu ia memasuki kota Madinah, masyarakat berbondong-bondong menyambutnya hingga hampir-hampir saja mereka saling bunuh karena berdesak-desakan. Ibu suri raja yang kebetulan menyaksikan kejadian itu bertanya, "Siapakah orang yang datang ke kota kita ini?"

"Ia adalah salah seorang ulama Islam," jawab pelayannya.

Ia kemudian berkata kepada anaknya, "Perhatikanlah, bagaimana masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Raja yang satu ini tidak seperti kamu. Kamu, jika menginginkan sesuatu, harus memerintah seseorang untuk melakukannya. Tetapi, mereka mendatanginya dengan sukarela."
Abdullah sesungguhnya adalah anak seorang budak berkulit hitam bernama Mubarak. Budak ini betisnya kecil, bibirnya tebal dan telapak kakinya pecah-pecah. Walaupun demikian, ia adalah seorang yang sangat wara`. Ke-wara'-annya ini akhirnya membuahkan anak yang saleh.Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun. Suatu hari tuannya datang ke kebun.

"Mubarak, petikkan aku anggur yang manis," perintah tuannya.
Mubarak pergi sebentar lalu kembali membawa anggur dan menyerahkannya kepada tuannya.
"Mubarak, anggur ini masam rasanya, tolong carikan yang manis!" kata tuannya setelah memakan anggur itu.

Mubarak segera pergi, tak lama kemudian ia kembali dengan anggur lain. Anggur itu dimakan oleh tuannya.
"Bagaimana kamu ini, aku suruh petik anggur yang manis, tapi lagi-lagi kamu memberiku anggur masam, padahal kamu telah dua tahun tinggal di kebun ini," tegur tuannya dengan perasaan kesal.

"Tuanku, aku tidak bisa membedakan anggur yang manis dengan yang masam, karena kamu mempekerjakan aku di kebun ini hanya sebagai penjaga. Sejak tinggal di sini aku belum pernah merasakan sebutir anggur pun, bagaimana mungkin aku dapat membedakan yang manis dan yang masam?" jawabnya.

Tuannya tertegun mendengar jawaban Mubarak. Ia seakan-akan memikirkan sesuatu. Kemudian pulanglah ia ke rumah.
Pemilik kebun itu memiliki seorang anak gadis. Banyak pedagang kaya telah melamar anak gadisnya.

Sesampainya dirumah, ia berkata kepada istrinya, "Aku telah menemukan calon suami anak kita."
"Siapa dia?" tanya istrinya.
"Mubarak, budak yang menjaga kebun."
"Bagaimana kamu ini?! Masa puteri kita hendak kamu nikahkan dengan seorang budak hitam yang tebal bibirnya. Kalau pun kita rela, belum tentu anak kita sudi menikah dengan budak itu."
"Coba saja sampaikan maksudku ini kepadanya, aku lihat budak itu sangat wara' dan takut kepada Allah."

Kemudian sang istri pergi menemui anak gadisnya, "Ayahmu akan menikahkanmu dengan seorang budak bernama Mubarak. Aku datang untuk meminta persetujuanmu."

"Ibu, jika kalian berdua telah setuju, aku pun setuju. Siapakah yang mampu memperhatikanku lebih tulus daripada kedua orang tuaku? Lalu mengapa aku harus tidak setuju?"
Sang ayah yang kaya raya itu kemudian menikahkan anak gadisnya dengan Mubarak. Dari pernikahan ini, lahirlah Abdullah bin Mubarak.
Quthbul Irsyad Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam qosidah Ainiyah-nya memuji Ibnul Mubarak. (I:78)
Lanjutan Cerita Tentang Sikap Wara' Membawa Berkah